SAAT SEMUA BISA DIPALSUKAN, APAKAH PRIBADI KITA JUGA PALSU?
Tulisan ini pernah dimuat di kolom edupark ums, cuman agak lupa kapan.. hehe, sedikit keprihatinan akan kepalsuan.. Cintamu palsukah ? eeaaaaa
Akhir-akhir
ini beredar kabar yang mencemaskan sebagian ibu rumah tangga selain langkanya
ketersediaan LPG dan mahalnya bawang merah, yaitu mengenai beras palsu atau beras
oplosan yang di campur dengan beras sintetis. Toh, sudah lama pula tersiar
kabar mengenai garam impor yang dahulunya kita sering dimintai untuk diuji coba
menggunakan alat tes beriodium untuk mengalihkan kita untuk menggunakan garam
impor dibanding garam produksi lokal, dimana negara Indonesia ini adalah negara
kepulauan, dengan sebaran laut yang terbesar di dunia, yang seharusnya mampu
memproduksi garam berkualitas dan layak dipasarkan. Kita dapat pula menemukan
pemberitaan mengenai produk-produk tiruan yang sangat mirip dengan aslinya yang
berasal dari negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Tiongkok. Ada
pula, margarin curah serta kuas-kuas pemulas kue-kue yang terbuat dari olahan
babi yang banyak digunakan oleh pedagang kue di pasar atau di pinggir jalan,
karena ongkos produksi yang murah. Bahan tempe pun diimpor dari sebuah pabrik
di Amerika yang notabene kedelai itu dibuat dengan bahan kimia berbahaya. Kita
pantas bertanya, apakah pribadi kita, sebagai masyarakat Indonesia yang
memiliki nilai-nilai luhur, pantas dihargai dengan harga semurah itu?
Ya,
negara Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa telah
bermetamorfosis menjadi negara konsumen. Dulunya, yang di setiap rumah,
tersedia tanaman buah, tanaman sayur mayur, kolam ikan, ayam kampung organik,
cabai tinggal memetik, dan segala kebutuhan harian sudah tersedia di alam.
Memiliki anak yang lebih dari lima menjadi hal yang biasa untuk tiga dekade ke
belakang. Rumah yang luas, dengan halaman yang masih bisa dipakai untuk bermain
petak umpet, ‘betengan’, ‘jamuran’, ‘gobag sodor’, dan segala permainan
tradisional di masa kecil yang mampu memberikan pemahaman sosial, keberanian,
kepercayaan diri, pengambilan keputusan, dan segala hal baik secara fisik dan
psikologis sehingga membuat pribadi luhur dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat.
Bagaimana
dengan kondisi kini? Sawah dan ladang telah berubah menjadi perumahan yang
konon dikata untuk rakyat, tetapi larinya tetap juga ke jeratan rentenir modern
dalam bentuk kredit perumahan rakyat. Rumah-rumah itupun juga kesulitan untuk
merawat ayam organik, kolam ikan, menanam sayuran segar dan melakukan
permainan-permainan tradisional, karena ukurannya yang sempit dan sistem
pengairan yang kurang produktif untuk bercocok tanam. Pun, yang mampu melakukan
itu adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan ataupun harta yang melimpah.
Orang-orang yang tinggal di desa mulai
mendatangi perkotaan atas nama kehidupan yang lebih baik. Falsafah banyak anak
banyak rejeki telah berganti menjadi dua anak cukup. Semuanya serba instan,
restoran cepat saji menggantikan peran ibu yang bersusah payah memasak makanan
sehat untuk keluarganya. Gadget dengan aplikasi permainan terbaru menggantikan
peran sosial dari permainan tradisional. Gelar akademik dapat dengan mudah
diraih tanpa harus masuk kuliah. Uang banyak, dapat diraih dengan menghalalkan
segala cara, jual harga diri dan jual diri oranglain. Orangtua semakin banyak
yang kurang memperhatikan kebutuhan anak. Pengasuhan pun seadanya, karena
mereka juga mengalami tekanan di kehidupannya sendiri. Penyakit-penyakit aneh
mulai bermunculan, dan kemudian dihadapkan dengan obat-obatan kimia yang
harganyapun kadang tidak dapat terbeli oleh masyarakat.
Pemerintah
sepertinya juga mulai kehilangan rasa percaya diri, mengundang investor luar
negeri untuk menanam modal pembangunan infrastruktur dan mengatur pula
pembangunan serta pengadaan sarananya. Apakah belum cukup keuangan di dalam
negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa untuk membangun negeri ini,
sehingga perlu meminjam negeri lain? Di saat semua dapat dipalsukan, apakah pribadi orang
Indonesia juga ikut-ikutan menjadi sintetis? Saya meyakini, masih banyak
orang-orang di negeri ini yang memiliki visi yang baik, menginginkan kehidupan
yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Mereka pun menginginkan masyarakat
Indonesia menjadi lebih sejahtera, dengan memproduksi kebutuhannya sendiri. Ibda’ binnafsii, mulai dari diri sendiri
untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Quu
anfusakum wa ahliikum naaraan. Jagalah diri dan keluarga dari api neraka.
Bisa jadi, segala kesintetisan yang ada sekarang di bumi Indonesia ini
merupakan jalan neraka bagi kita di dunia pun di akherat kelak. Khairunnas
tanfa’uhum linnas. Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lain. Langkah berikutnya
adalah, menjadikan diri kita dan keluarga kita menjadi sambungan penolong untuk
kebaikan orang lain dan keluarganya. Ajaran
mulia, agar pribadi kita tidak mudah dipalsukan. Kini, kitalah generasi yang
memegang kendali negeri, bagaimana negeri ini berpuluh-puluh tahun lagi,
bergantung kepada usaha terbaik apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini.
Be Happy ^_^
:D
BalasHapus