PEREMPUAN BEKERJA, SEBUAH PILIHAN
Perempuan yang bekerja. Tetiba aku ingin mengupas tentang
tema ini. Menarik, karena aku juga pelakon dari tema ini. Melihat juga situasi
lingkungan sekitar yang semakin banyak juga perempuan-perempuan yang bekerja. Perempuan
yang tidak lagi “hanya”sekedar ibu rumah tangga. Mereka yang berada di rumah,
mengurusi pekerjaan rumah tangga dan segala ujung-ujungnya. Para perempuan
pekerja ini biasanya juga akan melakoni peran sebagai ibu rumah tangga, tapi,
biasanya juga hal itu hanya menjadi kerja sambilan, karena pekerjaan utamanya
adalah bekerja di luaran. Seperti halnya jika mau ngurus surat-surat ke
kelurahan, atau sekolah, saat ada pertanyaan pekerjaan ibu kandung, maka aku
tuliskan profesi ibuku sebagai ibu rumah tangga.
Iya, ibuku adalah ibu rumah tangga. Bener-bener beliau hanya
mengurusi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Hanya beberapa tahun saja –tepatnya
aku lupa- , ibuku nyambi (punya
pekerjaan sampingan) buka toko kelontong. Toko kelontong itupun dibuka dengan
alasan bahwa ibu ingin mendapat harga yang lebih murah untuk barang-barang
kebutuhan sehari-hari, karena belinya grosir, ya sekalian aja buat jualan,
untungnya buat nambah uang jajan kami waktu itu. Toko itupun tutup setelah
kakakku yang kedua menikah. Entah kenapa ibu menutup tokonya, karena aku tahu
dengan persis, saat itu lagi rame-ramenya juga pembeli. Entahlah, itu pilihan
ibu. Ibu yang hanya mengandalkan hasil dari pekerjaan bapak sebagai pegawai
negeri.
Iya, Bapak, Bapakku sekarang menjadi pensiunan pegawai
negeri yang sekarang nyambi jadi
petugas kerohanian di PKU Muhammadiyah Solo (Kalau ada yang lagi berkunjung ke
sana, bisa ketemu dengan beliau, dan beliau akan dengan sangat antusias untuk
bercerita tentang “wilayah jajahannya” saat menjadi pegawai negeri dulu -pengawas sekolah-). Bapak memutuskan untuk
menjadi pekerja lagi karena beliau merasa sudah sangat terbiasa bekerja,
sehingga ya layaknya para pensiunan, post power syndrome pun menyerbu. Bapak
sakit-sakitan. Bapak yang sudah 67 tahun
dan masih mampu mengendarai motor di jalanan yang semakin ramai. Dan,
lagi-lagi, ibu aku masih menjadi ibu rumah tangga, sekaligus eyang yang sangat
luar biasa bagi anak-anak aku (hehehe…).
Pastilah dalam kehidupan rumah tangga ada juga masa-masa
paceklik. Masa-masa pasang surut perekonomiannya. Dan di sinilah ujian yang
paling tinggi ratingnya, karena masuk dalam jajaran penyebab perceraian nomer
satu di kantor pengadilan agama. Betul sekali. Masalah ekonomi. Ibuku termasuk seorang penganut financial planning yang sangat disiplin.
Padahal belum pernah sekalipun ibu ikut workshop atau diajarin soal itu. Seumur
hidupku, kalau tidak diajak anak-anaknya ke supermarket atau hanyalah
minimarket di pasar deket rumah atau makan di luar rumah, bisa dihitung dengan
jari deh. Ibu lebih memilih berbelanja
di pasar, atau warung-warung di seputaran rumah dan memilih untuk beli lauk
kalau sedang di luar rumah, karena sudah punya nasi di rumah, atau mengandalkan
tukang sayur yang biasa lewat di depan rumah. Ibu selalu menekankan kepada
kami, untuk dapat setiti (berhati-hati)
terhadap penghasilan yang didapat. Tidak usah beli-beli barang-barang yang
tidak dibutuhkan. Uangnya ditabung kalau punya keinginan yang besar, beli
apa-apa jangan nyicil, sabar dulu sampai bisa beli lunas. Beda banget dengan
sekarang, apa-apa bisa dicicil. Hmmm… Ibu bela-belain gak pernah yang namanya shopping, karena ibu tahu, itu adalah
sumber keinginan. Dan keinginan adalah
sumber marabahaya perekonomian keluarga.
Dan, apa hasilnya? Ibu dengan gaji dari bapak (atas ijin
Allah), mampu menyekolahkan hingga sarjana tiga orang anaknya. Ibu mampu mengatur segala kebutuhan rumah
tangga dan segala keperluan kami. Ibu memilih untuk tidak bekerja karena aku
tahu ibu inginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Jika ibu memaksakan diri,
maka akan timbul keinginan-keinginan lain yang akan merusak “sistem
perekonomian” yang dianutnya.
Well, itu
sekelumit kisah tentang ibuku. Nanti kuceritakan lebih detail lagi di tulisan
lain. Trus, soal aku yang bekerja? Nanti
dulu… :)
Di sebuah desa di Klaten, seorang perempuan yang bekerja
menjadi asisten rumah tangga. Ia bekerja hampir 10 jam perhari dengan bayaran
sekitar 150an ribu perminggunya. Ia
bekerja untuk dapat menafkahi anak semata wayangnya yang sekarang duduk di
kelas 5 SD dan ibunya yang sudah mulai renta. Eh, menafkahi? Suaminya? Suaminya
tepatnya entah mantan entah dimana, seorang supir truk. Sudah hampir 8 atau
Sembilan tahun meninggalkannya dan anaknya. Tanpa ada pesangon, ataupun nafkah
bulanan. Ia menyayangi anak-anak majikannya selama hampir enam tahun bekerja di
rumah mereka dan sangat “all out” menurutku sebagai seorang asisten rumah
tangga. Betapa tidak, ia juga mengajarkan kebaikan-kebaikan ke anak-anak
majikannya, meskipun hanya di taraf seorang asisten rumah tangga. Anaknya
sendiri? Sepulang sekolah diasuh oleh
neneknya. Kalau boleh kubilang, asisten
tipe ini adalah idaman semua ibu-ibu. Kenapa? Ia tidak pernah mengeluh soal pekerjaannya,
ia tidak pilih-pilih, ia akan datang kapanpun, bahkan malam hari jika
majikannya memanggilnya ke rumah, ia akan antar jemput sekolah anak majikannya
jika majikannya tidak bisa menjemputnya. Hanya sekali ia ‘dianggap’
mengecewakan saat ia pamit ke Jakarta untuk beberapa hari, tapi kelewat dan
tidak memberi kabar, hanya karena ia takut majikannya akan marah karena ia
memang sedang ada keperluan keluarga. Hmmm…
Most wanted deh pokoknya ..
Oke, kembali ke masalah ekonomi. Betapa banyak perempuan-perempuan
yang bekerja menjadi sebuah kewajiban
bagi mereka, bukan lagi sekedar pilihan. Kewajiban, karena memang tiada lagi
orang-orang yang dapat menjadi sandaran mereka untuk merasa aman dan nyaman
kala mereka mengurus rumah tangga dan keluarga. Bisa juga karena memang gaya
hidup yang menuntut mereka untuk bisa tetap bekerja. Kenapa gaya hidup ikut
berperan serta di dalam masalah ekonomi ini? Beda kebutuhan dengan keinginan
apa?
KEBUTUHAN adalah MAKAN, KEINGINAN adalah MAU MAKAN APA?
Ibu saya tidak bekerja, dan ia ‘hanya’ mencukupi kebutuhan-kebutuhan
keluarga dan beliau sangat luar biasa memendam keinginan-keinginannya sendiri
karena mengandalkan penghasilan dari bapak.
Sang asisten rumah tangga itu bekerja, dan ia ‘hanya’
mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga dan iapun juga cukup mampu memendam
keinginan-keinginannya sendiri, karena ia mengandalkan tenaganya untuk
mendapatkan rejeki.
Dan, pertanyaan berikutnya? Untuk apa sebenarnya kita
(perempuan) bekerja? Apakah untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan-keinginan
kita saja? Atau jangan-jangan, kita sudah terlampau memenuhi keinginan,
sehingga melupakan yang menjadi pekerjaan utama kita ketika di rumah. Memenuhi
keinginan makan fast food di mall,
tetapi lupa kebutuhan fisik yang utama adalah yang bukan kandungan dalam fast food itu tadi. Jangan salah lho,
perempuan bekerja yang dia memutuskan menjadi wiraswastapun juga dapat kena
imbas dari sini. Mereka-mereka yang sering menggunakan gadgetnya untuk bekerja,
ternyata membawa imbas yang negatif untuk keluarga terutama jika telah memiliki
anak, karena mereka akan cenderung abai terhadap anak-anaknya jika mereka tidak
memperhatikan situasi saat anak-anak membutuhkannya.
Menjadi perempuan itu sesuatu yang amazing yak. Bahkan, aku menemui perempuan-perempuan yang bekerja
itu biasanya penghasilan mereka lebih tinggi daripada suaminya. Atau, saat
suaminya kena PHK, merekalah yang memiliki ide-ide atau kreativitas untuk tetap
berpenghasilan. Atau, saat suaminya meninggal, mereka lebih memilih untuk
menjanda seumur hidup dan berhasil menghidupi anak-anaknya. Dan akupun bisa
merasakan bagaimana perasaan para tenaga
kerja wanita yang bekerja di luar negeri demi anak-anak mereka. Sungguh luar
biasa pengorbanan mereka. Pengorbanan yang dibayar dengan ucapan terimakasih karena
telah menambah devisa negara.
Menjadi perempuan yang bekerja adalah sebuah pilihan. Pilihan atas ketidakmampuan suami sebagai
pencari nafkah utama atau pemenuhan terhadap keinginan pribadi atas nama gaya
hidup, gengsi, harga diri, dan aktualisasi diri. Dan soal diriku yang bekerja?
Biar diri ini dan Allah yang tahu pilihan yang kuambil. Meski demikian, saya
bangga ibu saya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Karena beliaulah, aku bisa
nangkring di rangking satu sejak SD hingga SMA, dan bisa menjadi lulusan
terbaik di masa wisudaku. Karena beliau juga, aku selalu merasaaa bahagia
karena usai pulang sekolah, selalu ada IBU dengan segala masakannya. Karena
beliau juga, aku masih menyimpan cita-cita, menjadi Khadijah al Kubro
berikutnya.
Untuk semua perempuan yang memilih bekerja karena alasan
apapun, tempat terbaikmu adalah di RUMAH. Percayalah …
Salam Happi :)
@aclimber
0 komentar:
Posting Komentar