EDUKASI LAYANAN PSIKOLOGIS
Dewasa ini masyarakat
dikejutkan dengan banyaknya pemberitaan mengenai kasus-kasus kriminal maupun
kecelakaan yang dilakukan oleh remaja atau anak di bawah umur. Tak lupa pula, menjelang PEMILU, beberapa
rumah sakit jiwa sudah mulai menyediakan tempat untuk para calon anggota
legislatif yang diindikasikan akan mengalami depresi pasca PEMILU jika tidak
terpilih nanti. Ada juga berita mengenai pemilik usaha yang tiba-tiba mem-PHK
ribuan karyawannya tanpa ada alasan yang cukup jelas. Dari pemberitaan yang
beredar, seolah ingin menginformasikan kepada kita, tentang “sesuatu” yang
sangat berperan di dalam proses perkembangan setiap individu. Ada hal yang bisa jadi, masyarakat tidak
perlu menganggap itu sebagai sebuah kebutuhan, namun di sisi lain, setelah
suatu kejadian buruk terjadi, barulah masyarakat menganggap “sesuatu” itu
menjadi kebutuhan, bahkan tanpa disadari bisa masuk ke ranah kebutuhan primer,
sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan.
“Sesuatu” yang dimaksud
penulis adalah kebutuhan psikis atau psikologis. Di Indonesia ini sendiri
sebenarnya sudah banyak Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang sudah
menghasilkan lulusan Sarjana Psikologi, maupun Psikolog-psikolog yang
terspesialisasi di bidangnya yang kemudian berprofesi sesuai dengan kompetensi
dan keahliannya. Sayangnya, ribuan
lulusan ini belum termanfaatkan oleh masyarakat, bisa jadi salah satunya karena
kurangnya edukasi yang dilakukan oleh para lulusan tersebut terhadap layanan profesinya.
Berbeda dengan profesi-profesi lain yang sudah cukup jelas manfaatnya untuk
masyarakat, seperti jasa dokter, jasa pengacara, jasa guru dan sebagainya. Jasa layanan psikologis
dianggap sebagai barang ‘mewah’ yang hanya dipakai pada saat proses seleksi
kerja, mutasi jabatan, penempatan jika di dunia industri, atau penentuan
jurusan di sekolah-sekolah, dan diagnosis kesehatan psikologis di rumah sakit
atau klinik.
Terdapat beberapa alasan
yang kemudian menyebabkan masyarakat terkesan belum mengenal jasa layanan
psikologis, khususnya konseling atau psikoterapi. Salah satunya sebabnya
adalah, adanya anggapan bahwa jika datang ke psikolog akan dianggap sebagai
orang yang “sakit” jiwanya sehingga akan membuat malu keluarga. Ada pula
beberapa orang yang menyebutkan jika datang ke psikolog seolah “tidak mendapat
apa-apa”, karena yang diharapkan oleh orang-orang tersebut ia akan membawa
pulang semacam “obat” yang bisa “langsung” menyembuhkan kegalauan psikisnya.
“Saya hanya diajak ngobrol saja di dalam, dan biayanya mahal lagi… “, kilah
beberapa klien setelah mengikuti sesi konseling. Padahal, proses pemberian jasa
layanan psikologis tidak dapat serta merta seperti “abakadabra” langsung sembuh
atau sehat atau bisa langsung berubah menjadi lebih baik. Memerlukan proses
yang intensif, panjang dan berkesinambungan, serta kerjasama dari berbagai
pihak untuk menunjang kesehatan psikologis.
Di perusahaanpun juga
terjadi hal yang demikian. Pengguna jasa psikologis menempatkan lulusan
psikologi sebagai petugas pencatat kepegawaian, bekerja hanya saat proses
rekruitmen dan pemetaan karyawan saja, namun belum memberikan porsi yang cukup
untuk dapat memberikan jasa konseling kerja yang bisa jadi juga dibutuhkan oleh
karyawan di perusahaan tersebut. Di sekolah-sekolah, pengguna jasa layanan
psikologi hanya sebatas kepada siswa-siswinya, bisa jadi guru-gurupun juga
memerlukan jasa layanan ini terkait dengan kondisi dirinya, maupun sistem di
sekolahnya. Masih jarang pula klinik-klinik kesehatan yang
melengkapi layanan kesehatan holistiknya dengan menyediakan jasa layanan
psikologis, khususnya konselor atau psikoterapis.
Menurut Purwanto dalam
bukunya Etika Profesi Psikologi Profetik, profesi merupakan arahan cita-cita pada diri inividu untuk melayani
dan memperoleh kompensasi, dapat berupa upah demi kepentingan umum. Hal ini
dapat diartikan bahwa para pelaku jasa psikologis menyematkan perilaku-perilaku
pemberian jasa layanan psikologis kepada masyarakat sebagai sebuah profesi,
sehingga berhak mendapatkan kompensasi, sehingga berhak menarik biaya dari
klien yang datang kepadanya untuk menggunakan jasanya. Jika diperhatikan dengan
lebih seksama, kompensasi yang diterima oleh jasa layanan psikologis masih jauh
berada di bawah standar profesi lain yang juga menghabiskan waktu dan tenaga
yang sama, bahkan terkadang lebih berat lagi. Sebagai contoh layanan konseling.
Di sebuah biro psikologi di Kota Surakarta, menerapkan tarif Rp. 95.000 untuk
satu jam konseling, ini termasuk standar yang normal. Di sebuah rumah sakit
daerah bahkan menerapkan standar yang jauh di bawah biro psikologis ini, yaitu
sebesar Rp.4.900 saja perjam sesi konseling. Tentu saja karena berbeda status
institusi yang mengelolanya yang menyebabkan perbedaan harga layanan. Begitu pula dengan tarif jasa layanan
psikologis yang lain yang tentu saja juga amat beragam sesuai dengan kebutuhan
dan institusi yang menaunginya. Hal ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi
organisasi profesi untuk dapat menetapkan standar tarif layanan.
Jasa layanan psikologis
tidak hanya terbatas kepada pengetesan psikologis seperti proses rekruitmen di
perusahaan atau pemetaan potensi dan penjurusan di sekolah-sekolah, konseling,
atau psikoterapi saja di klinik atau rumah sakit saja. Lebih jauh lagi, dapat
berupa pemberian training pengembangan diri, coaching, penelitian-penelitian
bidang keperilakuan, pemberdayaan masyarakat, pembenahan sistem di suatu
perusahaan dan institusi pendidikan, pendampingan saksi dan korban di dunia
forensik, menjadi saksi ahli jika diperlukan di persidangan, penilaian profil
pelaku kejahatan, serta beragam aktivitas outdoor dapat menjadi bagian dari
jasa layanan psikologis. Lantas, siapa saja yang berhak memberi layanan
psikologis ini? Ada beberapa kriteria yang menjadi standar acuan yang mengacu
kepada kode etik profesi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Mereka-mereka
yang berhak untuk memberikan jasa layanan psikologis selain psikoterapi,
pemrofilan dan saksi ahli adalah alumni lulusan S1 jurusan Psikologi yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing, dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat-sertifikat tertentu
atau pengakuan dari masyarakat atau lembaga tertentu. Sedangkan mereka yang
berhak untuk memberi layanan psikoterapi, pemrofilan dan saksi ahli adalah
lulusan S1 jurusan Psikologi yang kemudian melanjutkan studinya ke S2 jurusan
Profesi Psikologi atau S1 Psikologi Plus (kurikulum sebelum 2004), memiliki
sertifikat sebagai Psikolog dan mendapatkan Surat Ijin Praktek Psikologi serta
jika dibutuhkan sertifikasi kompetensi-kompetensi lain.
Tulisan ini sebagai salah
satu bentuk saranan pendidikan bagi masyarakat, bahwa masyarakat dapat
menggunakan jasa layanan psikologis baik di ranah pendidikan, industri,
kesehatan, forensik, perkembangan, keagamaan dan pemberdayaan masyarakat. Dan
apabila ada yang membutuhkan jasa layanan psikologis, maka dapat menghubungi
saya di:
HAPPINA PROJECTS
SMS. 085647271927
Twitter @aclimber
Facebook Khotimatun
Na’imah
Home Office: Telukan
RT 02 RW 01 Grogol Sukoharjo
Great Processing :D
@aclimber
*Penulis adalah Alumni Fakultas
Psikologi UMS Angkatan 2004, sedang menyelesaikan kuliah di Magister Psikologi
Profesi UMS. Melayani Hipnoterapi, Konseling, Profiling Kepribadian dan Pengembangan Diri
0 komentar:
Posting Komentar